Dulu, saat ISO 9000 seri masih versi 1994, standar tersebut dibagi oleh ISO menjadi standar untuk organisasi yg menggunakan D & P dan organisasi tanpa D & P. Organisasi dengan D & P berarti ia yg membuat “desain” produknya sendiri. Sedangkan organisasi yg menerima desain produk dari pelanggannya, ia hanya “memproduksi” sesuai desain tersebut, berarti tanpa D & P. Perusahaan vendor2 otomotif yg menyediakan part2 otomotif jika berbisnis murni b2b masuk ke tipe organisasi tanpa D & P karena desain part-nya mengikuti desain yg sudah dibuat konsumen. Bengkel2 & organisasi niaga juga masuk dlm kategorisasi itu. Itu saat kita masih menggunakan kaca mata seri ISO 9000 versi 1994.
Tapi, sejak versi 2000 keluar, tidak ada lagi pembagian standar. Hanya ada satu tipe standar ISO 9001 terkait persyaratan sistem manajemen mutu. Berlaku generik, untuk semua organisasi dgn produk, ukuran, atau lokasi yg beragam. Dan dlm standar tersebut klausul D & P masih dipertahankan.
Memang betul ISO 9001:2000 lalu disusul versi 2008 memungkinkan bahwa persyaratan tersebut dikecualikan alias tidak diterapkan. Tapi pertanyaannya, mengapa ISO masih mencantumkan itu?
Pertama, sejak versi 2000, standar ISO 9001 mengadopsi falsafah pendekatan proses. Artinya, saat menerapkan ISO 9001, organisasi harus melihat kegiatan2 yg ada di organisasinya sbg sebuah proses. Sebagai sebuah proses, ia memiliki input, output, control, dan sumber daya. Lalu sebagai sebuah proses ia tentunya mengikuti lingkaran Deming, P-D-C-A. Makna mendalamnya, sebetulnya, jika mengadopsi falsafah pendekatan proses berarti semua klausul persyaratan ISO 9001 berpotensi diterapkan dalam sebuah proses.
Karena itu, jika kita membaca literatur soal audit berbasis proses dlm rangka penerapan ISO 9001, kita bisa temui dengan mudah saat kita mengaudit sebuah proses saja hampir semua persyaratan kita bisa tanyakan. Misalnya, dengan kriteria audit ISO 9001:2008, kita mengaudit proses pemeliharaan sarana prasarana, kita bisa menanyakan apakah alurnya terdefinisi dan apa kriteria efektifitasnya (klausul 4.1 ISO 9001:2008), apakah dokumen & rekamannya terkendali (4.2), apakah personel yg ada aware terkait fokus pada pelanggannya (5.2) & kebijakan mutu (5.3), apakah peran & tanggung jawab untuk proses tersebut terdefinisi & komunikasi internalnya efektif (5.5), apakah SDMnya memadai (6.1) & kompeten (6.2), apakah infrastrukturnya memadai (6.1 & 6.3) dll yg terlalu banyak untuk disebutkan.
Terkait D & P, Arter, salah seorang pakar ISO 9001, menjelaskan bagaimana persyaratan ini digunakan saat mendevelop proses audit internal misalnya. Klausul D & P dapat digunakan untuk mendevelop sistem audit internal. Proses audit internal harus diatur sedemikian rupa mempertimbangkan persyaratan pelanggan proses & persyaratan lain organisasi, terverifikasi & tervalidasi oleh pihak yg berwenang di organisasi.
Faktanya, semua organisasi sebetulnya melakukan proses D & P. Di organisasi jasa, meski sekedar call center, bukankah organisasi membuat “service blue print”nya. Maka ketika membuat ini persyaratan D & P ada di dalamnya. Di organisasi pemerintah, kita dituntut membuat standar pelayanan (SP). Saat membuat SP, klausul D&P bisa diterapkan.
Alasan kedua mengapa D & P menjadi penting. Dalam lingkaran Deming, setiap proses harus mengalami fase P, yaitu Plan. Artinya setiap proses itu perlu direncanakan. Apa targetnya, bagaimana alurnya, bagaimana kontrolnya, dll. Persyaratan D & P dalam ISO 9001 memiliki fungsi ini. Ia bisa digunakan untuk “mendesain & mengembangkan” proses. Pertanyaannya, mengapa perlu kita berhati2 “mendesain & mengembangkan”? Jawabannya sederhana, itulah yg dimaksud mencegah “kesalahan dari pertama kali”. Kalau organisasi mendesain dan mengembangkan proses tidak dengan baik, ada potensi besar organisasi menetapkan proses yg tidak baik. Artinya, ada potensi besar juga organisasi sedang menjalankan proses yg tidak baik. Artinya lagi, organisasi tersebut sedang berjalan ke arah kegagalan.
Salam Semangat,
Sikie Sumaedi
www.konsultaniso.web.id
www.multiple.co.id